Postingan

Menampilkan postingan dari 2022

Merajut Asa di Balik Pandemi

 Mentari masih bertengger di batas tegak. Semilir angin berhembus, dedaunan berkelok melambai. Tenangnya aliran Sungai Sepihan, membawa keceriaan anak-anak dusun. “Byur, byur …”    Beberapa dari mereka meloncat ke sungai, kepiawaian berenangnya sudah tidak diragukan lagi. Kali ini Ari tidak ikut serta mengikuti jejak rekannya. Ia berdiri mematung, sesaat kemudian membalikkan badannya.    "Ada apa Nak, kau tidak ikut bermain dengan mereka?" Sapa emaknya dari kejauhan. Ari hanya menggelengkan kepala kemudian mendekati emaknya yang berada di samping rumah.  "Ari bantu ya, Mak" kata Ari sembari mengambil pisau untuk memotong kayu bakar.  "Aduh…" teriak Ari sambil memegang tangannya yang sedikit tergores pisau.  'Hati-hati Ar" timpal emaknya.  Memang Ari kurang fokus karena pandangan matanya tertuju pada sepeda tuanya yang lama tidak bisa digunakan. Ia teringat akan tugas sekolah yang diberikan Pak Rudi guru kelasnya. Oleh karena Ari tid

Isna yang Malang

 Gadis kecil itu terlihat menjadi dewasa. Tampilan polosnya harus menyandang beban batin. Perlakukan bullying seringkali didapatkan. Isna … itulah nama panggilannya.Ia berasal dari keluarga yang amat sederhana. Pagi-pagi buta kedua orang tuanya harus bekerja. Sebagai buruh tani, mereka mengerjakan lahan milik tetangga.  Terlahir sebagai anak tunggal, sudah barang tentu disayangi oleh kedua orang tuanya. Di tengah-tengah kesibukannya , jika ada kesempatan mereka mengantar atau menjemput Isna saat pulang sekolah. "Bu .., saya titip  Isna…, kata pak Roni kepada Bu Rina wali kelasnya. Senyum tipis mengembang di raut wajah Bu Rina. ":Insya Allah pak, jangan khawatir," sahut Bu Rina.  Bu Rina sangat memahami bagaimana kondisi Isna. Sebagai anak yang memiliki kekhususan, harus memikirkan bagaimana memberi perlakuan semestinya. Namun seringkali kesulitan menangkis perlakukan olok-olok.dari teman-temannya. Maklum mereka masih kelas 2 SD. Walaupun sudah diberi pengertian, m

Waktu Telah Menjemput mu

, Bunyi dering grup wa begitu beruntun. Pagi yang seharusnya aku  nikmati dengan aktivitas rutin untuk persiapan sarapan keluarga,  harus berhadap dengan perangkat laptop.  Pikiran hanya tertuju pada tagihan berkas TPP yang mendadak diminta oleh Korwil kecamatan untuk dilakukan pengumpulan secara kolektif ke kabupaten, mengingat jarak dinas pendidikan dari empat kami 45 km, sehingga bisa memanfaat waktu untuk kegiatan lain yang tak kalah penting  Kenyataan seringkali berbalik dari apa yang kita rencanakan. Notifikasi grup WA berdering  bersahutan lagi. Ada apa gerangan.   Sepintas terbaca ucapan doa-doa.  Kecurigaan mulai muncul. Bergegas aku buka, ku geser keatas scroll layar handphone untuk mencermati chatingan grup Wa. Innalillahi wainna ilaihi rojiun . Ternyata salah satu rekan kami telah tiada Semoga  amal beliau diterima disisi Allah SWT, aku turut memberikan irirngan doa. Planning yang sudah tersusun berubah untuk kerumah duka untuk melakukan takziah. tidak ada rencana manus

Kepeloporan Guru dalam Merdeka Belajar

Gambar
Mengapa harus  Merdeka Belajar?  Kebingungan  selalu muncul setiap ada penawaran brilian yang dianggap sebagai penghambat bagi guru yang merasa pada zona nyaman dengan aktivitasnya. Kebijakan baru yang dikeluarkan  oleh Kemenristek   yakni Merdeka Belajar seringkali ada penyambutan yang tidak mengenakkan. Bahkan sering terlontar celetukan  "Setiap ganti menteri ganti  kebijakan, lihati tidak akan lama lagi, akan ganti lagi kurikulum jika masanya sudah habis" Tidak ada.yang salah dalam peluncuran kurikulum karena dalam pembuatan kebijakan sudah dilakukan evaluasi, menyesuaikan dengan perkembangan zaman.  Hal tersebut seiring  dengan perkembangan IPTEK. Yang menjadi ganjalan  adalah setiap maju selangkah, kita selalu jauh tertinggal dengan negara lain. Sebagaimana dilansir dari laman Okezone.com Staf Khusus (Stafsus) Presiden RI, Adamas Belva Syah Devara mengungkapkan, berdasarkan penelitian seorang profesor di Harvard, Indonesia memerlukan hingga 128 tahun untuk mengejar keter