Kepeloporan Guru dalam Merdeka Belajar


Mengapa harus  Merdeka Belajar? 

Kebingungan  selalu muncul setiap ada penawaran brilian yang dianggap sebagai penghambat bagi guru yang merasa pada zona nyaman dengan aktivitasnya. Kebijakan baru yang dikeluarkan  oleh Kemenristek   yakni Merdeka Belajar seringkali ada penyambutan yang tidak mengenakkan. Bahkan sering terlontar celetukan  "Setiap ganti menteri ganti  kebijakan, lihati tidak akan lama lagi, akan ganti lagi kurikulum jika masanya sudah habis"


Tidak ada.yang salah dalam peluncuran kurikulum karena dalam pembuatan kebijakan sudah dilakukan evaluasi, menyesuaikan dengan perkembangan zaman.  Hal tersebut seiring  dengan perkembangan IPTEK. Yang menjadi ganjalan  adalah setiap maju selangkah, kita selalu jauh tertinggal dengan negara lain.



Sebagaimana dilansir dari laman Okezone.com Staf Khusus (Stafsus) Presiden RI, Adamas Belva Syah Devara mengungkapkan, berdasarkan penelitian seorang profesor di Harvard, Indonesia memerlukan hingga 128 tahun untuk mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan dengan negara maju. Sungguh fantastis.kesenjangan yang terjadi,. ditopang lagi dengan adanya pandemi Covid 19.


Imbas pandemi Covid 19 sungguh luar biasa. Ketimpangan perolehan hak betul-betul terjadi. Hanya sebagian kecil anak-anak kita yang bisa mendapatkan pendidikan secara normal karena ditopang oleh fasilitas dan daya dukung.  Setelah dilakukan evaluasi dan berdasarkan hasil Asesment Nasional  telah terjadi learning loss. Siswa kita rata-rata menempati rating di bawah kriteria minimal dalam hal mumerasi dan literasi.


Konsep Merdeka Belajar sangat tepat untuk diterapkan dalam menangani kesenjangan.  Sebagaimana dilansir pada laman Tempo.co.id,  Nadiem Makarim dalam diskusi Standar Nasional Pendidikan di Hotel Century Park Jakarta Pusat pada Jumat, 13 Desember 2019  mengatakan bahwa Merdeka Belajar adalah kemerdekaan berfikir.  Esensi kemerdekaan berfikir harus dimulai dari guru dulu,. kemudian akan terjadi pada murid.


Guru merupakan ujung tombak kemajuan pendidikan.  Guru harus proaktif,  selalu jemput bola terhadap berbagai perubahan. Gejala perlambatan pada perkembangan peserta didik harus bisa dideteksi, apa yang menjadi penyebab dan bagaimana cara.pemecahan masalah.


'Melakukan Tindakan" bukan berdiam diri,.pasrah dan menyalahkan   keadaan. Seringkali saya mendengar   beberapa alasan dari beberapa rekan guru  yang tidak bisa digunakan sebagai ukuran.  "Anak-anak sekarang sulit di ajari, berbeda dengan anak-anak zaman dahulu."  Mereka tidak menyadari bahwa tantangan yang dihadapi semakin berat. Tantangan itu bukan hanya ditujukan kepada siswa sebagai objek, namun sasaran utama dan pertama adalah pada guru. Bisakah guru mengubah pola asuh, sementara teknologi informasi berkembang tak terkendali. Tantangan global menjadi PR bagi guru untuk segera terbangun dari tidur panjang dalam kenyamanan.


Guru merdeka belajar selalu berusaha mengembangkan kompetensinya. Banyak fasilitas yang tersedia berupa pelatihan-pelatihan baik yang disiapkan oleh kementerian melalui platform-platform, pihak dinas pendidikan, melalui kegiatan kelompok kerja  untuk melakukan kolaborasi.


"Merdeka Belajar"  merupakan  formula yang siap digunakan untuk melakukan terapi. Dengan Merdeka Belajar guru dan siswa diberi kebebasan untuk menentukan tujuan dan cara belajar.    Merdeka Belajar mampu mengejar ketertinggalan tanpa harus menuntaskan tuntutan kurikulum.yang dijejali dengan banyak materi ajar yang harus dikuasai siswa.


"Merdeka Belajar"  merupakan senjata yang dipersiapkan untuk menghadapi tantangan global.  Kita memerlukan generasi yang kompeten, terampil dan mampu bersikap sebagaimana yang diharapkan dari Profil Pelajar Pancasila.


Sudah siapkan sekolah untuk Merdeka Belajar?


Keraguan selalu muncul  dari para guru. Apakah konsep merdeka belajar bisa  dilaksanakan secara maksimal? Apakah akan bernasib sama dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya, suara sumbang terdengar lagi “Kurikulum 2013 saja belum tuntas, disambung dengan kebijakan baru.”


Di tempat saya bertugas yakni  Kabupaten Kotawaringin  Timur telah dilakukan pemetaan pengembangan kompetensi kurikulum sekolah dasar  pada Bulan Maret 2022.  Berdasarkan hasil refleksi tersebut, sebagaimana yang disampaikan Bapak Agus Wahyudi  dalam rangka sosialisasi Kurikulum Merdeka pada tanggal 14 April 2022 bahwa sebanyak 12,4% menggunakan kurikulum darurat dan 87,2% menggunakan kurikulum 2013.


Mengapa sekolah tidak mengambil  opsi sesuai dengan kondisi riil sekolah? "Tidak mau repot dengan hal-hal yang baru." Itulah yang menjadi pegangan dari sebagian sekolah. Wait and see.   Jika belum banyak yang berbuat tidak akan maju selangkah pun.  Menghadapi keadaan tersebut kadang bisa membuat sakit hati. Bagaimana pendidikan ini akan maju jika banyak orang yang mempunyai prinsip seperti hal tersebut. 


Kurikulum darurat bisa digunakan oleh sekolah di masa pandemi  Covid 19.  Begitu juga dengan peluncuran Kurikulum Merdeka. Sekolah bisa mendaftarkan diri dengan memilih 3 opsi yakni 1).  Mandiri belajar,  memberikan kebebasan kepada sekolah untuk menggunakan kurikulum di sekolahnya dan saat penerapannya menggunakan sebagian prinsip-prinsip Merdeka belajar 2). Mandiri Berubah, sekolah menggunakan kurikulum merdeka dengan menggunakan bahan ajar yang telah disediakan  3). Mandiri Berbagi, sekolah diberi keleluasan menggunakan Kurikulum Merdeka, yang mana sekolah bisa mengembangkan sendiri perangkat ajar.  

Opsi yang ditawarkan oleh kementerian sangat simpel, memudahkan sekolah dalam melakukan pembelajaran di sekolah. 


“Jawaban tidak mau repot, merasa takut susah, melihat dulu sekolah yang sudah melaksanakan,” betul-betul saya perdengarkan dari  rekan kepala sekolah dan guru dari salah satu sekolah dasar, walaupun tidak bisa dijadikan sampel. Namun di wilayah Kecamatan  tempat saya mengabdi hanya sekitar 7 sekolah dasar yang melakukan pendaftaran Kurikulum Merdeka melalui laman kurikulum.gtk.kemdikbud.go.id. Sedangkan untuk sekolah penggerak hanya 1 sekolah. Hal tersebut di luar sekolah menengah dan atas, mengingat yang saya ketahui di tingkat sekolah dasar. 



Sudah siapkan guru menjadi  pelopor  Merdeka Belajar?







Siapakah yang layak  menjadi pelopor? Seringkali seorang guru berhadap pada ketidakpercayaan diri untuk berbuat dan menjadi orang yang terdepan,, karena merasa bukan seorang guru penggerak atau bagian dari sekolah penggerak.


Semua guru bisa menjadi pelopor. Banyak hal yang bisa dilakukan. Modal utama adalah harus mempunyai komitment tinggi, bukan pasrah menerima apa yang adanya tanpa ada usaha. siswa kita memerlukan pertolongan. Kemajuan teknologi informasi yang pesat memerlukan pendampingan dengan cara yang tepat.


Merdeka Belajar sudah digaungkan dan siap direalisasikan di sekolah melalui Kurikulum Merdeka. Konsep-konsep Merdeka Belajar harus di kuasai guru. Guru bisa belajar secara mandiri melalui berbagai media. Sinergi guru dan kepala sekolah sangat diperlukan. Dalam hal ini kepala sekolah memegang peranan penting.


Kepala sekolah harus mampu memotivasi dan memfasilitasi guru-guru yang ada di sekolahnya untuk melakukan pengembangan diri, memaksimalkan sumber daya untuk mengaplikasikan 8 Standar Pendidikan nasional. Hasil dari evaluasi diri sekolah harus ditindak lanjuti dengan merencanakan program-program perbaikan, memaksimalkan dana operasional sekolah. Hal yang tidak bisa diabaikan adalah pemenuhan sarpras sebagai penunjang.




Dituls oleh : Aini Farida, S.Pd
Kepala SDN 1 Samuda Kecil 
Kab. Kotawaringin Timur
Alamat  web : https://ainifrd.blogspot.com/
https://www.kompasiana.com/ainifarida0672









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelombang Senja

Membangun Digital Space yang Aman Untuk Anak

BUku Mahkota Penulis, Buku Muara Penulis